Kita tahu bahwa Hari Pers Nasional (HPN) terjadi setiap 09 Februari. Hari ini, HPN akan diperingati di Batam, Kepulauan Riau. Dalam acara itu, tentunya akan berkumpul wartawan-wartawan dari berbagai daerah. Dari sekian banyaknya wartawan yang berkumpul, apakah sehari-harinya mereka masih meluangkan waktu untuk membaca dan berkeinginan mencipta buku?
Memang dalam perkumpulan itu, terdengar adanya kelahiran 26 buku karya dari para wartawan dari berbagai daerah. Hasil dari penciptaan buku ialah bukti intlektual bagi para wartawan yang setiap harinya bekerja sebagai penulis berita. Melihat hasil buku yang lahir dengan perbandingan jumlah dari wartawan yang tentu tak sepadan. Jumlah yang belum representatif itu, mungkin diakibatkan adanya budaya membaca yang kini mulai pudar di kalangan para wartawan.
Dulu, semasa di kampus, para wartawan masih dapat berproses untuk membaca dan mencipta berbagai karya lewat sebuah antologi atau buku. Akan tetapi, setelah menjadi wartawan di media massa yang tiap harinya terbit, proses itu memudar. Tak banyak dari mereka yang dapat bertahan dalam proses membaca dan mencipta sebuah tulisan antologi atau buku, seperti ketika dulu masih di kampus.
Turunnya proses yang dijalani ini, tak lain karena rendahnya kemauan membaca. Membaca bagi para penulis atau wartawan adalah sebuah kewajiban yang harus dilakukan. Apalagi wartawan yang bertugas memberi informasi dan pendidikan bagi para masyarakat. Jika, tingkat membacanya rendah, dari mana mereka akan mendapat informasi mendidik yang akan dikabarkan kepada masyarakat.
Keterkaitan antara membaca dan informasi yang diberikan kepada masyarakat merupakan kerja jangka pendek bagi wartawan. Karena kegiatan wartawan ialah menghimpun berita, mencari fakta, dan melaporkan peristiwa. Jadi, untuk memenuhi tugasnya, watawan tak terlalu membutuhkan intensitas membaca yang tinggi. Berbeda, ketika wartawan berkeinginan untuk melakukan kerja jangka panjang.
Kerja jangka panjang yang dilakukan wartawan ialah berupa sebuah karya seperti buku. Untuk memenuhi kerja jangka panjang, mereka dituntut mempunyai intensitas membaca yang tinggi dengan meluangkan waktunya di tengah-tengah kerja sebagai wartawan. Untuk membuat sebuah buku, wartawan tak perlu pesimis. Beberapa pendahulu pers telah megawali kerja jangka panjang. Marco Kartodikromo, salah satu dari wartawan yang telah melahirkan buku, di antaraya ialah Mata Gelap, Sair Rempah, dan Student Hidjau.
Masih banyak wartawan-wartawan lain yang dulunya dapat mencipta buku. Di era 1970-an kita menemui wartawan seperti Goenawan Mohammad yang mencipta buku, salah satu karyanya ialah Catatan Pinggir. Selain itu ada juga, wartawan bernama Seno Gumira Aji Darma dengan beberapa karyanya yang berupa Kitab Omong Kosong, Penembak Misterius,dan Naga Bumi.
Wartawan sebagai orang yang bergelut di bidang kepenulisan, jangan sampai hanya berhenti dalam batas kerja kesehariannya, sebagai wartawan. Progam jangka panjang, berupa membaca dan penciptaan buku perlu diagendakan. Demi menjaga dan meningkatkan intlektual wartawan.
Ya. Membaca adalah satu dari sekian proses yang harus menjadi perhatian khusus. S. Prasetyo Utomo, dalam obrolannya menuturkan bahwa ia telah membaca buku yang akan dijadikannya sebuah tulisan sebanyak lima kali. Inilah tanda bahwa proses membaca begitu penting. Semua orang dapat membaca, akan tetapi jarang sekali yang menjadi pembaca. Karena membaca pun membutuhkan keterampilan layaknya menulis.
Menulis tanpa membaca tak akan dapat dilakukan. Demi mencipta buku, agenda membaca perlu digiatkan oleh wartawan. Pendahulu pers, seperti Marco Kartodikromo, Goenawan Muhammad, dan Seno Gumira dalam penciptaan buku pastinya tak lepas dari etos membaca yang tinggi. Kita tentu berharap agar wartawan tetap melakukan kegiatan membaca, dan mencipta buku, seperi pendahulunya. Alasan malas dan sibuk yang sering diungkapkan sebagai tameng harus dihapuskan. []
Tinggalkan Komentar