Home » PWNU Jateng Minta Full Day School Dihentikan, Dorong Kesetaraan BOP Sekolah

PWNU Jateng Minta Full Day School Dihentikan, Dorong Kesetaraan BOP Sekolah

Semarang, Bestarinesia.com – Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Jawa Tengah mendesak otoritas pendidikan untuk meninjau kembali kebijakan full day school yang telah diterapkan di tingkat pendidikan dasar dan menengah dalam beberapa tahun terakhir.

Desakan ini muncul dalam rapat pleno pertama PWNU Jateng tahun 2025 yang digelar di Aula Gedung NU Jateng, Jl Dr Cipto 180 Semarang, Sabtu (22/3/2025). Rapat tersebut dihadiri oleh unsur mustasyar, syuriyah, tanfidziyah, a’wan, serta ketua-ketua badan otonom dan lembaga tingkat wilayah Jateng, yang secara bersama-sama mengungkapkan berbagai alasan agar kebijakan full day school dihentikan.

Ketua PWNU Jateng, KH Abdul Ghaffar Rozin, yang memimpin rapat pleno bersama Rais PWNU Jateng, KH Ubaidullah Shodaqoh, menyatakan bahwa sistem full day school, yang menerapkan lima hari sekolah dengan durasi delapan jam per hari, telah membawa dampak negatif bagi peserta didik, terutama di sekolah-sekolah yang memiliki keterbatasan fasilitas ibadah.

“Di beberapa satuan pendidikan, luas tempat ibadah tidak mencukupi untuk jumlah peserta didik yang banyak, sehingga antrean sholat dzuhur menjadi panjang hingga beberapa gelombang,” ujar Gus Rozin usai sidang pleno pertama PWNU Jateng.

Ia menambahkan bahwa antrean panjang tersebut membuat peserta didik jenuh dan berpotensi mengabaikan kewajiban sholat dzuhur karena waktu mereka habis untuk menunggu giliran. Fenomena ini, lanjutnya, banyak terjadi di sekolah-sekolah non-pesantren sebagaimana dilaporkan oleh peserta rapat pleno. Oleh karena itu, PWNU Jateng menilai kebijakan full day school perlu ditinjau ulang.

Sebagai solusinya, PWNU Jateng mengusulkan agar sistem sekolah dikembalikan ke format sebelumnya, yaitu enam hari sekolah dalam seminggu dengan jam belajar yang tidak sampai sore. Dengan sistem ini, peserta didik akan memiliki waktu yang cukup untuk menunaikan sholat dzuhur tanpa harus antre panjang.

Selain itu, madrasah diniyah yang selama ini berjalan pada siang hingga sore hari juga dapat kembali berkembang. Dengan kepulangan lebih awal, peserta didik memiliki kesempatan untuk mengikuti pembelajaran agama di madrasah diniyah sebagaimana sebelum full day school diterapkan.

Selain menyoroti sistem pendidikan, PWNU Jateng juga meminta agar pemerintah tidak membedakan besaran Biaya Operasional Pendidikan (BOP) antara satuan pendidikan di bawah Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen) dengan yang berada di bawah Kementerian Agama (Kemenag).

Saat ini, menurut PWNU Jateng, terdapat selisih besaran BOP antara kedua lembaga tersebut, yakni berkisar Rp 400 ribu hingga Rp 450 ribu per peserta didik. Mereka menilai pembedaan ini tidak adil dan harus segera disamakan.

“Tidak boleh ada diskriminasi, karena semua peserta didik adalah anak bangsa. Orang tua mereka, baik yang menyekolahkan anak di madrasah maupun di sekolah umum, sama-sama membayar pajak sebagai warga negara,” tegasnya.

PWNU Jateng berharap pemerintah memperhatikan tuntutan ini dalam rangka meningkatkan kualitas pendidikan yang lebih merata dan adil bagi seluruh peserta didik di Indonesia. (*)

Lanjut Membaca

Post navigation

Tinggalkan Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *