Home » LP Ma’arif NU Dorong Pendidikan Inklusif Berbasis Empati Melalui Capacity Building di Semarang

LP Ma’arif NU Dorong Pendidikan Inklusif Berbasis Empati Melalui Capacity Building di Semarang

Semarang, Bestarinesia.com – Pendidikan inklusif tidak hanya soal kurikulum dan metode, tetapi juga tentang panggilan hati dan empati. Hal ini disampaikan Ketua Tanfidziyah PWNU Jawa Tengah, KH. Abdul Ghaffar Rozin saat membuka kegiatan Capacity Building Madrasah/Sekolah Inklusif LP Ma’arif NU PWNU Jawa Tengah, Jumat (13/6/2025) di Hotel Siliwangi, Semarang.

Dalam sambutannya, KH. Ghaffar menegaskan bahwa mengelola pendidikan inklusif di lingkungan Ma’arif NU merupakan bagian dari tanggung jawab kemanusiaan dan kasih sayang, khususnya dalam memberikan ruang yang layak bagi anak-anak berkebutuhan khusus (ABK) atau peserta didik berkebutuhan khusus (PDBK).

“Pendidikan inklusif adalah kerja kasih sayang. Jika tidak dilandasi itu, maka pelaksanaannya akan kehilangan makna,” ujarnya.

Kegiatan tersebut dihadiri oleh berbagai pihak, termasuk perwakilan Kanwil Kementerian Agama Provinsi Jawa Tengah H. Juair, S.Ag., M.M., M.Si., Sekretaris PWNU Jawa Tengah H. Ahmad Fathur Rohman, Ketua FPMI Pusat Supriyono, Koordinator Literasi dan Inklusi Hamidulloh Ibda, tim pendamping, reviewer, psikolog dari Unwahas dan Unissula, serta para kepala madrasah, kepala sekolah, dan guru di lingkungan LP Ma’arif NU.

Pada hari kedua, Sabtu (14/6/2025), kegiatan dibagi ke dalam dua forum utama: forum guru pendamping khusus (GPK) dan tim reviewer modul pelatihan pendidikan inklusif. Kedua forum ini bertujuan menyempurnakan materi pelatihan agar lebih kontekstual dan membumi.

Ketua LP Ma’arif NU PWNU Jawa Tengah, Fakhruddin Karmani, menyoroti pentingnya penyusunan modul berbasis pemahaman yang sederhana namun menyentuh.

“Banyak kepala sekolah atau madrasah menganggap kata ‘modul’ itu berat. Maka pendekatan penyusunan materi juga harus mempertimbangkan aspek psikologis pengguna,” jelasnya.

Dalam forum review, modul 1 direvisi pada aspek pandangan dan mindset inklusi, dengan harapan modul ini dapat menyentuh semua lapisan: dari komite sekolah, yayasan, hingga orang tua. Modul 2 pun mengalami perbaikan pada aspek kurikulum dan pembelajaran, termasuk dalam substansi dan penggunaan istilah yang lebih tepat.

Kegiatan ditutup dengan sidang pleno gabungan untuk menyusun simpulan serta rencana tindak lanjut pengembangan modul yang lebih inklusif dan aplikatif di lapangan.

More Reading

Post navigation

Leave a Comment

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *